Senin, 14 Maret 2011

iklan politik agar tidak mengurai sampah visual...

TUGAS MATA KULIAH PENULISAN IKLAN/ COPYWRITING
MENYELAMATKAN IKLAN POLITIK AGAR TIDAK MENGURAI SAMPAH VISUAL







Disusun oleh:
Yollanda Octavitri
A2A008051


JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2010




Janji palsu tidak hanya beredar di kalangan para pujangga cinta, melainkan melekat juga dalam bahasa-bahasa promosi dalam ajang pesta rakyat terutama dalam spanduk dan sejenisnya. Bahasa-bahasa mengumbar janji untuk perbaikan infrastruktur maupun untuk pembangunan segala aspek daerah maupun nasional seringkali stuck hanya sampai pada saat kampanye saja. Tidak ada follow up ketika calon pemegang kekuasaan (bisa jadi anggota dewan, bupati, gubernur, bahkan presiden) yang menjanjikan hal-hal yang ditawarkan para calon untuk itu akhirnya terpilih. Disini jelas janji kosong atau nihil, tidak ada sama sekali. Seperti faham nihilisme dalam filsafat, yang berarti sesuatu itu adalah kosong, tanpa materi, maka salah satu iklan politik yang berkembang di Indonesia demikian. Bukan rahasia umum lagi jika sederet janji yang ditawarkan calon pemegang kekuasaan tersebut bisa bersambut baik dari khalayak publik. Namun biasasnya diberikan pada saat kampanye yang menjadi korban utama iklan politik adalah masyarakat yang memiliki ekonomi rendah, sehingga dengan jamuan sedikit materi yang hanya diberikan pada saat kampanye berlangsung dapat meluluhkan hati mereka, meskipun setelah terpilih mereka pintar bersilat lidah.
Dalam dunia politik, konon semuanya adalah hal. Itulah paradigma yang telah mendarah daging di kalangan elit politik. Ada juga yang berpendapat bahwa jika tidak pakai cara licik, tidak akan menang. Berbagai cara yang mendapat embel-embel halal dari sudut pandang politik, seakan semua telah lumrah dilakukan. Masyarakat yang melihat tingkah laku elit politik hanya bisa berekspresi miris ketika melihat aksinya mengeksiskan diri. Ada-ada saja janji palsu yang gemar digembor-gemborkan ketika kampanye, atau ditulis dalam spanduk pencalonan diri yang terpasang di seantero desa ataupun kota ketika zaman-zaman pemilu. Sungguh membuat sakit mata yang melihat sampah visual tersebut.
Calon elit politik yang tidak populer sering mengandalkan kepopuleran kerabat ataupun saudara yang dimilikinya. Padahal jikan nantinya ia terpilih, yang menggerakkan roda kepemimpinan adalah dia sendiri, bukan saudara ataupun kereabat yang ia jadikan tumbal untuk mempopulerkan nama dirinya. Narsisme yang sesungguhnya tidak ada hubungan langsung dengan politik telah membuat politik tidak lagi sebagai sesuatu yang agung dan sakral. Bahasa yang digunakan dalam iklan politik seringkali membangga-banggakan calon tersebut, mungkin saja pada kenyataannya tidak semembanggakan demikian. Namun dengan dalih keeksisan diri, supaya masyarakat mengenal calon tersebut
Instan ciri masyrakat modern dewasa ini. Semua serba ingin cepat dan jadi. Seringkali tidak dengan pemikiran yang panjang, sehingga yang menjadi korban tak lain adalah rakyat. Negara Indonesia adalah negara demokrasi, negara yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, dengan perwakilan anggota dewan perwakilan rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum, partai politik menjadi kendaraan utamanya. Kenyataan yang terjadi saat ini, calon wakil rakyat tersebut sangat instan dalam membuat visi misi karier sebagai wakil rakyat. Mereka bahkan lupa dengan esensi yang diemban untuk mewakili aspirasi rakyat. Pragmatisme yang ada dalam mindset mereka tidak lain untuk menjadikan politik sebagai kendaraan cepat untuk mencapai tujuan yang mereka punya. Dalam bahasa iklan politik bernada simplisitas. Bahasa yang digunakan sangat ringan dan simple, dengan tujuan hanya mencari kemudahan, terlepas dari dari niat masing-masing calon dari partai politik tersebut.
Teks sebagai sesuatu yang urgent dalam upaya komunikasi bahasa, dari komunikator kepada komunikan. Dalam hal ini komunikator adalah calon-calon anggota legislasi, dan komunikan adalah rakyat. Teks menjadi pisau bermata dua, disatu sisi memberikan manfaat, disisi lain memiliki dampak negatif. Semua tergantung dari si pemakai bahasa itu. Iklan politik lebih banyak menyumbangkan negatif bagi pihak rival. Bahasanya sering membuat pihak lain tersudut.
Dunia luar ini mengancam untuk mengubah kualitas paling dasar umat manusia, cinta kita yang tak bertepi terhadap komunikasi menjadi bisnis besar dan paling buruk, menjadi propaganda (Ziauddin Sardar, 2008: 9)
Visualisasi politik yang diiklankan dalam bentuk komunikasi visual misalnya dalam baris iklan koran, baliho, spanduk, mapun pamflet telah menjadikan sektor iklan berupa ladang bisnis. Bisnis yang terbentuk justru bisnis besar dan buruk, mempropaganda isu yang berkembang terutama pada jangka waktu pemilu yang sangat sensitif dengan ancaman dari rival politiknya. Bukan saja tidak mengindahkan etika politik yang telah ditetapkan dengan undang-undang dari pemerintah, tetapi juga persaingan yang terjadi malah semakin memperburuk keadaaan dengan tidak memandang cinta sesama peserta kompetisi pesta rakyat tersebut.
Studi media menunjukkan kepada kita mengapa politik,seni dan masyarakat berjalan seperti sekarang ini, dan bagaimana masa depan dapat dibentuk untuk hal yng terbaik (Ziauddin Sardar, 2008: 13). Dengan cara mempelajari media, bahasa sebagai kendaraan utamanya, diharapkan dapat mengubah politik yang sudah sunter memiliki paradigma yang kotor, licik dan tidak halal sekalipun menjadi sesuatu yang dapat mengubah menuju ke masa depan yang lebih baik, sesuai dengan pendapat Ziauddin Sardar dalam bukunya Membongkar Kuasa Media.
Modal utama yng dimiliki adalah bahasa, kemudian keberanian mental untuk berani mengeksplorasi kekayan intlektualny untuk di blow up dan di aplikasikan ke dalam iklan politik. Meski sulit dirasa, namun ada usaha untuk menjadikan iklan potik yang umumnya sekarang disebut sebagai sampah visual, menjadi sumber daya produktif yang mampu menginspirasi dan memotovasi pembaca iklan tersebut, baik dalam jangka waktu yang pendek maupun untuk masa depan dalam jangka waktu yang panjang.

Referensi
Sardar, Ziauddin. 2008. Membongkar Kuasa Media. Yogyakarta: Resist Book

Tidak ada komentar:

Posting Komentar