Pendahuluan
Kebudayaan menurut Kuntowijoyo yang dibagi menjadi 4 tahapan, yaotu tahapan mistis, tahapan ontologis, tahapan logis, dan tahapan ideologis. Dalam pemahaman kebudayaan yang berkembang dalam suatu masyarakat, perlu dilihat pula asal-usul bagaimana kebudayaan tersebut dapat berkembang. Rampak Bedug yang berkembang sebagai tradisi di daerah Banten merupakan tahapan ontologis. Dalam tahapan ontologis, orang-orang sudah melewatkan budaya mistis dan mulai terbuka, kesadaran “berbeda”, tidak lagi primordial, sudah agak terbuka dan bisa menerima faham dengan baik, komunikasinya pun berjalan dengan baik.
Kebudayaan berkembang dalam suatu masyarakat kultural merupakan warisan dari pendahulu yang pernah hidup pada masyarakat tersebut. Kultur yang berkembang tidak lepas dari kepribadian dan cara pandang masyarakat tersebut tentang kehidupan. Di dalamnya terdapat norma-norma yang disepakati dan dipatuhi sebagai aturan. Ada pula kesepakatan yang berlaku pada kultur tertentu. Meski tidak tertulis, namun difahami sebagai kesepakatan bersama.
Contoh yang paling mencolok perbedaan budaya barat dan budaya timur adalah dari sudut pandang mengenai moral. Dari pandangan ini berpengaruh ke gaya berpakaian, dan gaya bersikap. Sikap yang memiliki makna dibalik sikap biasa pun akan berbeda halnya ketika orang barat memeragakannya kepada orang timur, adanya perbedaan pemahaman.
Menurut Koentjaraningrat sistem nilai-budaya adalah suatu rangkaian dari konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang harus dianggap penting dan berharga dalam hidupnya. Dengan demikian suatu sistem nilai-budaya itu biasanya merupakan bagian dari kebudayaan yang berfungsi sebagai pengarah dan pendorong kelakuan manusia. Karena sistem nilai-budaya itu hanya merupakan konsep-konsep yang abstrak, tanpa perumusan yang tegas, maka konsep-konsep itu biasanya hanya bisa dirasakan, tetapi sering tidak dapat dinyatakan dengan tegas oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Justru karena sering hanya bisa dirasakan dan tidak dirumuskan dengan akal yang rasional, maka konsep-konsep tadi sering amat mendarah daging pada mereka dan sukar dirobah atau diganti dengan konsep-konsep yang baru. (Koentjaraningrat, 1995: 387)
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.
• Gagasan (Wujud ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
• Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
• Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:
• Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
• Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu -berkebudayaan dan tidak berkebudayaan- dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan "tidak alami" yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap mengekspresikan "jalan hidup yang alami" (natural way of life), dan musik klasik sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan.
Saat ini kebanyak ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap "tidak elit" dan "kebudayaan elit" adalah sama - masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Pengamat sosial membedakan beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular culture) atau pop kultur, yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak orang.
Rampak Bedug Sebagai Ritual Budaya Lokal yang Meng-Interlokal
Pada pembukaan acara International Youth Camp 2010 (Workshop on Economic Development of International Youth) di Hotel Nuansa Bali Anyer Banten pada tanggal 7 November 2010, yang diikuti oleh penulis, dimeriahkan dengan persembahan Rampak Bedug dari salah satu sanggar tari yang berada di salah satu Kabupaten di Banten. Welcoming dance ini semarak disajikan sebelum pejabat dari Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, Ibu Adiyati Noerdin, M. A memberikan sambutan pembukaan. Welcoming dance ini sengaja dihadirkan sebagai penyambutan kehormatan terhadap pejabat tinggi Kemenpora untuk memberikan nuansa cinta kesenian tradisional di tengah-tengah kehidupan global yang tercermin dari banyaknya peserta International Youth Camp 2010 yang berasal dari berbagai negara di dunia.
Peserta workshop yang berasal dari negara Vietnam, Filiphina, Kamboja, Papua New Guinea, Mozambique, Venezuela, dan Indonesia terhibur dengan sajian pembukaan yang tidak melupakan kesenian dan budaya daerah setempat. Arum, sebagai salah satu anggota penari Rampak Bedug ini pun bertutur senang ketika penulis mengajaknya berbincang ringan disela persiapan performance nya. Ia senang karena bisa tampil di acara internasional seperti ini, disisi lain ia juga senang bisa berperan aktif dalam usaha pelestarian kesenian dan budaya daerah, mengingat pada zaman modern seperti ini, minat dan daya tarik kawula muda semakin banyak yang terarah ke kebudayaan populer yang sangat cepat berubah.
Banten merupakan bagian dari Jawa Barat pada dahulu sebelum otonom menjadi propinsi, sedangkan kebudayaan dan kesenian yang berkembang tidak dapat dipisahkan hanya karena pemisahan administratif, melainkan sudah menjadi ruh atau jati diri masyarakatnya.
Rampak Bedug adalah Salah satu kesenian tradisional yang berasal dari Propinsi Banten. Rampak Bedug hadir sebagai kesenian tradisonal daerah Banten bukanlah asli dari karakter masyarakat Banten terdahulu, melainkan pengaruh agama Islam yang dibawa oleh pendahulu di Banten, kemudian di akulturasi dengan karakter masyarakat Banten, kemudian diciptakan suatu kesenian baru yang merupakan cerminan dari karakteristik masyarakat Banten yang telah mendapat pengaruh Islam.
Pengaruh Islam di banten sangat kuat, karena turunan dari kerajaan terdahulu yang pernah berjaya. Karena kuatnya kultur rohani Islam di Banten, maka kesenian tradisional yang tumbuh pun tidak terlepas dari kesenian yang bernuansakan Islam. Sebagai contoh adalah Marawis, Rampak Bedug, Tari Cokek. Yang semuanya paling tidak ada kata-kata (syair) shalawat, memuji Rosulullah SAW. Namun disamping kesenian tradusional yang secara turun temurun bernuansa Islam, ada pula kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang yang berasal dari adat dan kebiasaan masyarakat Banten itu sendiri, terlepas dari pengaruh Arab yang menjadikan kesenian tradisional menjadi bernuansa Islam. Esensi intreraksi sombolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (Mulyana, 2001:68).
Kata “bedug” sudah tidak asing lagi bagi telinga bangsa Indonesia. Bedug terdapat di hampir setiap masjid, sebagai alat atau media informasi datangnya waktu shalat wajib 5 waktu. Demikian juga dengan seni bedug semacam ngabedug atau ngadulag sudah akrab di telinga bangsa kita, khususnya lagi bagi telinga kaum muslimin. Rampak bedug hanya terdapat di daerah Banten sebagai ciri khas seni-budaya Banten. Kata “Rampak” mengandung arti “Serempak”. Jadi “Rampak Bedug” adalah seni bedug dengan menggunakan waditra berupa “banyak” bedug dan ditabuh secara “serempak” sehingga menghasilkan irama khas yang enak didengar.
Waditra rampak bedug terdiri dari : Bedug besar, berfungsi sebagai Bass yang memberikan rasa puas ketika mengakhiri suatu bait sya’ir dari lagu. Ting tir, terbuat dari batang pohon kelapa, berfungsi sebagai penyelaras irama lagu bernuansa spiritualis (takbiran, shalawatan, marhabaan, dan lain-lain). Anting Caram dan Anting Karam terbuat dari pohon jambe dan dililiti kulit kendang berfungsi sebagai pengiring lagu dan tari.
Nama Bedug dipakai sebagai nama dari tarian tradisional khas propinsi yang masih seumur jagung ini di Indonesia. Menurut salah satu sumber, konon dahulunya sebagai sebutan permainan antara orang-orang yang rajin salat di masjid. Mereka berebut untuk menabuh bedug sebagai waktu salat selama 5 waktu dalam satu hari. Maka para pemuda pada saat itu ber fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan) untuk menabuh bedug. Adapula sebutan untuk orang yang malas ke masjid adalah “Jauh ka Bedug” dalam bahasa Sunda berarti “orang yang jauh dari bedug” maksudnya adalah orang yang jarang salat di masjid jadi tidak ikut berlomba dalam cepat-cepat datang ke masjid untuk menabuh bedug. Seiring berjalannya waktu, timbul gagasan untuk membuat orang-orang yang hobi menabuh bedug sebagai suatu inovasi baru, yaitu kesenian menabuh bedug yang divariasikan dengan kesenian yang berkembang di masyarakat Banten.
Seni rampak bedug mulai ramai dipertandingkan pada tahun 1955-1960. Kemudian antara tahun 1960-1970 Haji Ilen menciptakan suatu tarian kreatif dalam seni rampak bedug. Rampak bedug yang berkembang saat ini dapat dikatakan sebagai hasil kreasi Haji Ilen dan sampai sekarang Haji Ilen masih ada. Rampak bedug kemudian dikembangkan oleh berempat yaitu : Haji Ilen, Burhata (almarhum), Juju, dan Rahmat. Hingga sekarang sudah banyak kelompok-kelompok pemain rampak bedug. Dengan demikian Haji Ilen beserta ketiga bersahabat itulah yang dapat dikatakan sebagai tokoh seni Rampak bedug. Dari mereka berempat itulah seni rampak bedug menyebar.
Pelaku Kesenian tradisional Rampak Bedug terdiri dari 2 bagian. Bagian pertama terdiri dari sekelompok pemain gamelan.Seperangkat gamelan dimainkan oleh beberapa personel, kira-kira 10 orang. Dalam penyajiannya, Rampak Bedug menggunakan properti gamelan, yang dimainkan oleh pemain laki-laki, yang mampu menabuh genderang dan perangkat gamelan dengan keras, sehingga suara yang dihasilkan dapat berbunyi nyaring dan kuat. Para pemain gamelan memakai pakaian seragam batik khas Baduy (pakaian batik khas Baduy yang bercorak hitam dengan warna dasar biru, Baduy sendiri adalah suku tradisional yang masih mempertahankan adat leluhur hingga saat ini, terletak di Kabupaten Lebak Propinsi Banten).
Sedangkan bagian kedua terdiri dari penari. Penari adalah wanita remaja. Penari wanita menggunakan kostum yang berwarna cerah agar terkesan ceria. Wajahnya dipoles make up yang cukup tebal agar terlihat semangat dan tidak pucat ketika mempersembahkan welcoming dance ini.
Atraksi Rampak Bedug, menggunakan perangkat satu set bedug kecil yang di fungsikan sebagai pengatur irama, tempo dan dinamika. Selain itu juga di gunakan seperangkat bedug besar yang di fungsikan sebagai bass. Sementara melodi hanya berasal dari lantunan shalawatan yang dilakukan sambil menabuh.
Bedug yang dipakai disesuaikan dengan banyaknya penari wanita. Karena bedug sebagai variasi dari tarian, maka gerakan tarian welcoming dance ini tidak jarang menabuh pelan bedug sebagai variasi movement. Properti lain yang digunakan selain gamelan yang dimainkan oleh pemain laki-laki dan bedug yang di handle oleh penari wanita, penari wanita juga menggunakan sepasang kipas tangan setiap personelnya. Gunanya sebagai penghias dan alat dalam mempercantik gerakan tarian Rampak Bedug. Terlihat dalam gerakan kipas menutup wajah yang kemudian tangan diayunkan ke samping sehingga wajah riang penari terlihat.
Kostum yang dipakai oleh pemain rampak bedug adalah pakaian Muslim dan Muslimah yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dan unsur kedaerahan. Penari wanita dengan menggunakan pakaian yang berwarna cerah, mencolok. Agar mencerminkan kesan tarian yang keriangan, penuh kebahagiaan. Kolaborasi antara bedug yang identik dengan relijiusitas, ternyata berpengaruh terhadap gaya busana yang dikenakan oleh penari rampak bedug wanita. Mereka berpakaian tertutup dengan celana panjang dan baju berlengan panjang, meski ada penari yang tidak mengenakan jilbab, tetapi tidak menghilangkan ciri khas kolaborasi dua budaya yang terakulturasi ini. Adapun rambutnya mengenakan sejenis sanggul bungan yang terbuat dari rajutan benang semacam penutup kepala bagian belakang. Toh dua budaya ini bisa dibentuk menjadi sesuatu yang menarik dan diminati oleh wisatawan sebagai hiburan budaya yang berupa hasil kreasi cipta.
Pada awalnya seni rampak bedug dipentaskan untuk mengiringi Takbiran di hari Lebaran. Kemudian berkembang juga untuk acara ruatan dan Marhabaan. Sekarang malah berkembang lagi sebagai seni profesional untuk mengisi hiburan dalam acara hajatan pernikahan, tarian selamat datang (welcoming dance) dan peringatan hari-hari nasional maupun kedaerahan. Lagu-lagu yang diiringinya pun berkembang, diantaranya Shalawat Badar dan lagu-lagu bernuansa religi.
Kesenian Rampak Bedug memberikan nilai moral baik kepada pemainnya maupun bagi penontonnya. Atraksi Rampak Bedug melatih personelnya untuk menjunjung tinggi nilai kekompakan atar sesama tim, jika salah satu saja daripersonel tidak kompak, maka akan terlihat ketidakharmonisan dari sebuah persembahan kesenian, karena suatu kesatuan tim tarian merupakan satu tubuh, ada satu atau beberapa yang sakit, yang lain akan merasakannya pula, sebagaimana kesolidan tim Rampak Bedug harus benar-benar mempersiapkan performance nya sebelum dan ketika mempersembahkan kesenian kultural ini.
Fungsi Rampak Bedug sebagai kesenian tradisional yang harus dilestarikan adalah memiliki peran untuk menghibur. Pada saat pembukaan acara Youth Camp 2010 di Anyer Banten, peserta dari kurang lebih 18 negara sangat antusias dengan ditampilkannya kesenian khas daerah propinsi Banten tersebut. Tak ayal dari mereka tidak malu-malu untuk maju dan mengabadikan dengan kamera digital maupun dengan handycam yang mereka miliki. Para peserta merasa terhibur dengan sajian hasil cipta kebudayaan daerah, langka bagi mereka untuk menyaksikan tarian khas daerah ini kalau bukan di acara yang di dalamnya terdapat berbagai negara, apalagi dilaksanakan di negara Indonesia, yang memiliki budaya dan kesenian yang beranekaragam.
Referensi
http://dee-126.blog.friendster.com/2008/06/rampak-bedug/
Masduki Aam dkk. 2005 Kesenian Tradisional Provinsi Banten Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
Tylor, E.B. 1974. Primitive culture: researches into the development of mythology, philosophy,
religion, art, and custom. New York: Gordon Press. First published in 1871.
(REVISI) MATA KULIAH PENGANTAR PENELITIAN KEBUDAYAAN
“KESENIAN RAMPAK BEDUG DARI PROPINSI BANTEN”
Yollanda Octavitri
A2A008051
JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar